Implementasi SDG di Indonesia: Kesiapan Pemerintah Daerah dan Masyarakat

Pengadopsian Sustainable Development Goals (SDG) pada bulan September 2015 telah mempertanyakan kesiapan beberapa negara atas implementasi Indonesia tanpa pengecualian. Dengan desentralisasi yang menempatkan pemerintah daerah pada pusat perencanaan pembangunan, kesuksesan penguatan implementasi SDG bergantung pada otoritas lokal (LA) dan kerja sama dengan organisasi warga sipil (CSO) dan beberapa actor lokal lain.

Secara rasional, dibutuhkan untuk mengidentifikasi beragam cara untuk memperbaiki partisipasi CSO setempat dan LA dalam pengimplimentasian SDG. Mengingat kebutuhan ini, UCLG ASPAC dan European Commission’s Policy Forum on Development (PFD) mengorganisir sebuah Focus Group Discussion (FGD) pada tanggal 10 Maret 2016, beserta beberapa orang penting dan perwakilan dari LA dan CSO Indonesia serta Menteri terkait untuk menilai kesiapan pengimplementasian SDG. FGD sebagai sebuah platform untuk menggabungkan wawasan bermutu untuk formulasi Laporan Awal di Indonesia, penelitian yang didukung PFD dan dipimpin oleh Dr. Wicaksono Sarosa, seorang ahli negara di MDG dan pemerintah daerah.

FGD mulanya dicoba untuk mengidentifikasi tantangan yang dihadapi oleh LA dan CSO. Salah satunya merupakan database berbeda yang digunakan dalam integrase SDG terhadap program-programnya. Dalam konteks ini, para partisipan setuju bahwa Badan Pusat Statistik Indonesia seharusnya terlibar untuk menyediakan data akurat perencanaan indikator kepada LA ditujukan kepada SDG.

Tantangan kedua adalah kenyataan bahwa SDG dipandang sebagai ‘masalah eksklusif’ yang berlaku hanya bagi beberapa kelompok sektor, menciptakan semacam ‘ego sektoral’ di antara para pemangku kepentingan. Salah satu contohnya pandangan bahwa keberhasilan hanya merupakan tanggung jawab Agen Pengembang Rancangan [ada taraf nasional dan daerah.

Oleh karena itu, promosi SDG di antara para pemangku kepentingan bersifat mendesak. Ide menarik lainnya adalah menunjuk seorang koordinator atau orang yang bertanggung jawab terhadap SDG pada tingkat daerah sebaagai pengawas kemajuan.

Terkait dengan tantangan kedua, Oswar Muadzin Mungkas, Deputi Gubernur Jakarta bagian Tata ruang dan Lingkungan, berujar bahwa SDG sering dianggap sebagai komitmen oemerintah daerah.

Langkah ini telah menghasikan sebuah bagian yang hilang antara masyarakat dan pemerintah daerha. Oleh karena itu, kita butuh untuk membentuk komitmen terlebih dahulu,” ujarnya.

 Jadi, dibutuhkan Dekrit Presiden yang dapat menetapkan peran spesifik pemerintah daerah dalam implementasi SDG. Hal ini dapat menyediakan sebagai kedudukan legal atas inklusi SDG pada Medium-Term Local Development Planning (RPJMD) mereka.

Ketika perbincangan berlanjut, para partisipan mengidentifikasi tantangan keempat, yang berarti SDG memiliki indikator terlampau banyak, melahirkan tanggungan di antara LA. Sejujurnya, meskipun begitu, SDG tidak dipandang sebagai hal baru, karena kebanyakan indikatornya telah termasuk dalam RPJMD. Ke 17 tujuan itu telah disebarkan di antara prioritas yang dibentuk oleh para pemerintah daerah. Bagaimanapun, karena mereka ‘dilabeli’ sebagai SDG, maka LA merasa bahwa mereka menghadapi sesuatu yang baru. Sehingga, penting untuk mengganti sudut pandang ini.

FGD pun menganggap pentingnya pengelolaan ilmu, tempat pemerintah daerah saling berbagi dan belajar parktik terbaik yang mereka gunakan dalam implementasi SDG. Sebuah jaringan yang meliputi para pemerintah daerah dan CSO seharusnya telah dibentuk.

Alih-alih untuk melawan pemerintah daerah, peran Organisasi Masyarakat Sipil adalah mereka harus bekerja berdampingan dengan pemerintah –baik daerah maupun nasional—dalam implementasi SDG. Hal paling penting adalah CSO dan LG harus mengerti peran serta tanggung jawab mereka masing-masing untuk implementasi SDG yang efektif,” ujar Sekjen UCLG ASPAC, Dr. Bernadia Irawati Tjandradewi.

Wakil walikota Makassar, Dr. Syamsu Rizal, setuju, pentingnya berbagi praktik terbaik atas kolabirasi pribadi pemerintah kota.

Makassar telah membentuk forum CSR (Corporate Social Responsibility), tempat kami mengelola dan mendistribusi dana sumbangan dari BUMN. Sehingga enterprise tidak perlu untuk mempekerjakan tenaga professional untuk mengatur kegiatan CSR,” tambah wakil walikota.